Oleh : Andy Krisna
Tahun ini sebagian masyarakat Indonesia kembali menikmati ‘kue’ ekonomi. Pemenuhan kebutuhan hidup relatif lebih baik. Dengan pendapatan per kapita terus meningkat. Kebutuhan pangan, sandang, dan papan dapat dipenuhi secara optimal. Ekonomi kian menguat. Kehadiran wisatawan mancanegara mendorong pariwisata pulih lebih cepat.
Kehadiran teknologi AI (artificial intelligence) turut mendukung akses untuk meningkatkan penghasilan. Aktivitas investasi semakin subur. Giat produksi, distribusi, hingga konsumsi terus menggeliat. Namun apakah situasi positif ini telah menciptakan keadilan ekonomi?
World Inequality Report 2022 menyebutkan terdapat 50% penduduk Indonesia dengan 5% kekayaan rumah tangga nasional, sebaliknya 10% penduduk menguasai 60% kekayaan rumah tangga nasional. Ketimpangan pendapatan masih terjadi. World Bank menyebutkan angka kemiskinan ekstrem Indonesia sebesar 1,5 persen.
Selain mengandalkan kebijakan dari atas untuk mendorong keadilan ekonomi, perlu upaya merumuskan langkah kebaikan dari bawah. Kontribusi positif untuk turut menciptakan perubahan ekonomi yang lebih adil bagi masyarakat bawah. Satu perbaikan kecil untuk mendukung perbaikan lebih besar.
Pertama, umat Islam terus meningkatkan produktifitas. Kerja maksimal untuk menghasilkan sumber daya berupa harta dan nilai manfaat ekonomi. Sebagaimana Rasulullah dan para sahabat senantiasa menjaga produktifitas dari sisi ekonomi. Islam melarang umat memiliki sifat malas apalagi punya kebiasaan mengemis. Sebagaimana dalam surah al-Insyirah ayat 7, “Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” Bersyukur atas capaian kinerja hari ini, tetapi jangan cepat puas. Jangan berhenti berusaha untuk mencapai puncak kemakmuran.
Kedua, membiasakan pola hidup sederhana. Pendapatan tidak selamanya stabil. Hasil jerih payah kadang berlimpah, ada kala paceklik. Perlu bijak mengelola uang, mengutamakan fungsi, bukan gengsi. Semasa hidup, Rasulullah kerap memakai pakaian berbahan murah, mengenakan alas kaki tambalan, tidur di alas daun palem, dan mengkonsumsi khasyin (gandum kasar). Hidup sederhana bukan berarti pelit. Lebih mengutamakan aspek kebutuhan dan manfaat. Bukan sekedar keinginan belaka.
Ketiga, berbagi melalui zakat, infak-sedekah, dan wakaf (ZISWAF). Menumpuk harta secara berlebihan bukan ajaran Islam. Rasulullah mendorong umat untuk membelanjakan sebagian harta di jalan Allah. Setiap harta yang dibagikan secara ikhlas akan menuai balasan di dunia dan di akhirat.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS an-nahl : 97).
Harta itu ibarat darah, perlu sirkulasi untuk memberikan penyegaran. Berbagi kepada faskir-miskin akan menghadirkan keberkahan dan kebahagiaan. Dengan menunaikan zakat, sedekah, dan wakaf berarti turut menciptakan keadilan ekonomi, karena kemanfaatan harta juga dirasakan oleh orang lain.